KUNJUNGAN MUSEUM DI SANGIRAN DAN TAWANGMANGU JAWA
TENGAH
A. Moseum
Purbakala Sangiran
a) Wilayah
Sangiran Museum
Sangiran
Sangiran adalah sebuah situs
arkeologi di Jawa, Indonesia.Sangiran memiliki area sekitar 48 km². Secara
fisiografis sangiran terletak pada zona Central Depression, yaitu berupa
dataran rendah yang terletak antara gunung api aktif, Merapi dan Merbabu di
sebelah barat serta Lawu di sebelah timur.
Secara administratif Sangiran
terletak di Kabupaten Sragen (meliputi 3 Kecamatan yaitu Kecamatan Kalijambe,
Gemolong dan Plupuh serta Kecamatan Gondangrejo) dan kabupaten Karanganyar,
Jawa Tengah.Sangiran terletak di desa Krikilan, Kec. Kalijambe ( + 40 km dari
Sragen atau + 17 km dari Solo) situs ini menyimpan puluhan ribu fosil dari jaan
pleistocen ( + 2 juta tahun lalu).
Situs Sangiran merupakan daerah
perbukitan yang mencakup kawasan seluas 32 km² dengan bentangan arah dari utara
ke selatan kurang lebih 8 km dan dari barat ke timur kurang lebih 4 km². Daerah
ini meliputi 12 kelurahan di 4 kecamatan, yaitu kecamatan kalijember, gemolong,
plupuh, dan godangrejo. Daerah sangiran memiliki sebuah sungai yang membelah
daerah tersebut menjadi dua yaitu kali
cemara yang bermuara di bengawan solo.
Fosil-fosil purba ini merupakan 65 %
fosil hominid purba di Indonesia dan 50% di seluruh dunia. Hingga saat ini
telah ditemukan lebih dari 13.685 fosil 2.931 fosil ada di Museum, sisanya
disimpan di gudang penyimpanan. Pada tahun 1977 Sangiran ditetapkan oleh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia sebagai cagar budaya, berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.070/0/1977, tanggal 5
Maret 1977. Selanjutnya keputusan itu dikuatkan oleh Komite World Heritage
UNESCO pada peringatannya yang ke-20 di Merida, Mexico yang menetapkan kawasan
Sangiran sebagai kawasan World Heritage (warisan dunia) No. 593.
b) Sejarah
Situs Sangiran
Sejarah Museum Sangiran bermula dari
kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Von Koeningswald sekitar tahun 1930-an.
Di dalam kegiatannya Von Koeningswald dibantu oleh Toto Marsono, Kepala Desa
Krikilan pada masa itu.Setiap hari Toto Marsono atas perintah Von Koeningswald
mengerahkan penduduk Sangiran untuk mencari “balung buto” (Bahasa Jawa = tulang
raksasa).Demikian penduduk Sangiran mengistilahkan temuan tulang-tulang
berukuran besar yang telah membatu yang berserakan di sekitar ladang
mereka.Balung buto tersebut adalah fosil yaitu sisa-sisa organisme atau jasad
hidup purba yang terawetkan di dalam bumi.
Fosil-fosil tersebut kemudian
dikumpulkan di Pendopo Kelurahan Krikilan untuk bahan penelitian Von
Koeningswald, maupun para ahli lainnya.Fosil-fosil yang dianggap penting dibawa
oleh masing-masing peneliti ke laboratorium mereka, sedang sisanya dibiarkan
menumpuk di Pendopo Kelurahan Krikilan.
Setelah Von Koeningswald tidak aktif
lagi melaksanakan penelitian di Sangiran, kegiatan mengumpulkan fosil masih diteruskan
oleh Toto Marsono sehingga jumlah fosil di Pendopo Kelurahan semakin
melimpah.Dari Pendopo Kelurahan Krikilan inilah lahir cikal-bakal Museum
Sangiran.
Untuk menampung koleksi fosil yang
semakin hari semakin bertambah maka pada tahun 1974 Gubernur Jawa Tengah
melalui Bupati Sragen membangun museum kecil di Desa Krikilan, Kecamatan
Kalijambe, Kabupaten Saragen di atas tanah seluas 1000 m². Museum tersebut
diberi nama “Museum Pestosen”. Seluruh koleksi di Pendopo Kelurahan Krikilan
kemudian dipindahkan ke Museum tersebut.Saat ini sisa bangunan museum tersebut
telah dirombak dan dialihfungsikan menjadi Balai Desa Krikilan.
Sementara di Kawasan Cagar Budaya
Sangiran sisi selatan pada tahun 1977 dibangun juga sebuah museum di Desa Dayu,
Kecamatan Godangrejo, Kabupaten Karanganyar. Museum ini difungsikan sebagai
basecamp sekaligus tempat untuk menampung hasil penelitian lapangan di wilayah
Cagar Budaya Sangiran sisi selatan.Saat ini museum tersebut sudah dibongkar dan
bangunannya dipindahkan dan dijadikan Pendopo Desa Dayu.
Tahun 1983 pemerintah pusat
membangun museum baru yang lebih besar di Desa Ngampon, Desa Krikilan,
Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen.Kompleks Museum ini didirikan di atas
tanah seluas 16.675 m². Bnagunannya antara lain terdiri dari Ruang Pameran,
Ruang Pertemuan/ Seminar, Ruang Kantor/ Administrasi, Ruang Perpustakaan, Ruang
Storage, Ruang Laboratorium, Ruang Istirahat/ Ruang Tinggal Peneliti, Ruang
Garasi, dan Kamar Mandi. Selanjutnya koleksi yang ada di Museum Plestosen
Krikilan dan Koleksi di Museum Dayu dipindahkan ke museum yang baru ini.Museum
ini selain berfungsi untuk memamerkan fosil temuan dari kawasan Sangiran juga
berfungsi untuk mengkonservasi temuan yang ada dan sebagai pusat perlindungan
dan pelestarian kawasan Sangiran.
Tahun 1998 Dinas Praiwisata Propinsi
Jawa Tengah melengkaspi Kompleks Museum Sangiran dendan Bnagunan Audio Visual
di sisi timur museum.Dan tahun 2004 Bupati Sragen mengubah interior Ruang
Knator dan Ruang Pertemuan menjadi Ruang Pameran Tambahan.
Tahun 2003 Pemerintah pusat
merencanakan membuat museum yang lebih representative menggantikan museum yang
ada secara bertahap.Awal tahun 2004 ini telah selesai didirikan bangunan
perkantoran tiga lantai yang terdiri dari ruang basemen untuk gudang, lantai I
untuk Laboratorium, dan lantai II untuk perkantoran. Program selanjutnya adalah
membuat ruang audio visual, ruang transit untuk penerimaan pengunjung, ruang
pameran bawah tanah, ruang pertemuan, perpustakaan, taman purbakala, dan
lain-lain.
c) Proses Terbentuknya Sangiran
Pada awalnya sangiran merupakan
lautan dangkal.Pada saat itu keadaan bumi masih belum stabil seperti sekarang,
di beberapa bagian bumi seringkali mendapatkan pergerakan di dalam perut bumi
yang disebabkan adanya dorongan tekanan endogen.Sangiran juga mengalami hal
serupa, karena adanya dorongan tenaga endogen (dari dalam bumi) terjadi
pengankatan dan pelipatan pada permukaan laut sangiran. Akibat dn pelipatan
permukaan maka terbentuklah daratan-daratan yang mengisolasi sebagaian lautan
tersebut sehingga menjadi danau dan rawa-rawa.
Saat terjadinya masa glacial
(pembekuan), permukaan air laut menyusut, itu disebabkan karena adanya
pembekuan es di kutub utara maka muncullah daratan di permukaan bumi. Danau dan
rawa sangiran yang terbentuk dari lautan dangkal juga menjadi daratan kering.
Proses pembentukan situs sangiran
erat kaitannya dengan aktivitas gunung lawu tua. Kubah sangiran diperkirakan
terbentuk akibat gaya kompresi dari runtuhan gunung Lawu tua, gaya endogen
berupa pengakatan dan pelipatan tanah serta gaya gravitasi bumi. Gaya kompresi
yang sama juga menyebabkan terbentuknya kubah-kubah lain seperti: Kubah
Gemolong, Kubah Gamping, Kubah Bringinan, Kubah Gesingan, dan Kubah Munggur.
Tenaga endogen yang terjadi
berulang-berulang mengakibatkan permukan tanah di sangiran naik akibatnya
adanya dorongan di dalam dan membentuk bukit.Kemudian karena aktivitas gunung
lawu membuat tanah perbukitan longsor dan membentuk kubah, tanah di sekitar
sungai cemarapun ikut longsor.Akibat dari hal tersebut, terbentuklah lapisan
tanah yang berbeda dari lapisan tanah permukaan.Lapisan tanah yang terbentuk
adalah lapisan dari jaman purbakala dimana hsil dari terbentuknya tanah
sangiran membuat para ahli purbakala dan masyarakat sekitar menemukan bukti-bukti
kehidupan masa prasejarah.Higga kini lapisan tanah (stratigrafi) yang dapat
ditemukan dan diteliti terdapat 4 lapis.
Situs sangiran merupakan daerah
perbukitan yang terbentuk dari fragmen-fragmen batu gamping foraminifera dan
batu pasir yang tercampur dengan Lumpur saat masa halosen. Juga yang endapan
alivial yang terdiri dari campuran lempung, pasir, kerikil, dan krakal dengan
ketebalan kurang lebih 2 meter yang dapat terlihat di sungai cemara. Sungai
cemara yang mengalir didaerah sangiran merupakan sungai anteseden yang menyayat
kubah sangiran.Hal ini menyebabkan struktur kubah dan stratifigrafi tanah
daerah sangiran dapat dipelajari dengan baik.
Tersingkapnya tanah di tepi sungai
cemara menunjukan aktivitas erosi dan sedimentasi yang intensif pada masa
sekarang. Proses erosi tersebut mengakibatkan munculnya fosil-fosil binatang
maupun manusia purba di permukaan tanah sehingga sering ditemukan fosil-fosil
setelah turun hujan.
Akibat dari dorongan tenaga endogen
pada awalnya, aktivitas erosi dan sedimentasi yang tinggi maka menyebabkan
pengangkatan dan pelipatan tanah sangiran, sehingga lapisan tanah sangiran
terbagi dari 4 lapisan (dari lapisan teratas) yaitu Formasi Notopuro, Formasi
Kabuh, Formasi Pucangan dan Formasi Kalibeng.
d)
Formasi Lapisan Sangiran
Berdasarkan studi pustaka yang telah
dilakukan, formasi penyusun daerah sangiran merupakan urutan dari
pengendapan syn-orogenic danpost-orogenic (proses
pengendapan bahan rombakan yang terjadi pada dan setelah terangkatnya
perbukitan Kendeng yang berada disebelah utara Sangiran), kecuali formasi
tertua.
Urutan formasi yang menyusun daerah Sangiran
adalah Formasi Kalibeng, Pucangan, Kabuh dan Notopuro.
1. Formasi
Kalibeng
Formasi ini terletak di dukuh
Ngampon, desa Krikilan, Kecamatan Klaijambe dan Kabupaten Sragen. Umur
formasi ini adalah Pliosen (2 juta -1,8 juta tahun yang lalu). Persebaran
Dormasi Kalibeng ditemukan disekitar Kubah Sangiran, dan membentuk perbukitan
yang landai. Ketebalan formasi ini mencapai 126,5 m. satuan litologinya berupa
lempung abu-abu kebiruan setebal 107 m, pasir lanau setebal 4,2 – 6,9 m, batu
gamping balanus setebal 0 - 10,1M.
Pada formasi ini banyak ditemukan
fosil-fosil Foraminifera dan Moluska laut. Antara lain ditemukan : arca
(anadara), arcitectonica, lopha (alectryonia), Conus, Mirex, Chlamis, Pecten,
Prunum, Turicula, renella spinoca, anomia, arcopsis, linopsis, dan turitella
acoyana. Fosil-fosil tersebut merupakan ciri dari lingkungan pengendapan laut
dangkal.
2. Formasi
Pucangan
Formasi Pucangan ini terdiri dari
dua satuan litologi yaitu satuan breksi laharik dan satuan napal bercampur batu
lempung. Ketebalan formasi ini mencapai 157,5 m. sedang umur formasi ini adalah
plestosen bawah ( 1,8juta-900ribu).
Satuan breksi laharik, terbentuk akibat
pengendapan banjir lahar hujan yang diselingi pengendapan sungai normal
dilingkungan air payau. Ketebalan satuan ini berkisar antara 0,7-46 m. satruan
ini termasuk Formasi Pucangan Bawah, berumur Plestosen Bawah. Kandungan fosil
pada lapisan ini sangat jarang.Namun diantaranya ditemukan sedikit fosil
moluska laut jenis anadara, korbicula, dan murex.
Satuan napal dan batu lempung, termasuk Formasi
Pucangan Atas, yang berumur plestosen bawah. Satuan ini berwarna abu-abu muda
sampai tua, yang bila lapuk berwarna hitam. Ketebalan lapisan ini
mencapai 113,5 m. pada satuan ini ditemukan tiga horizon moluska laut yang
bercampur dengan gigi ikan hiu, yang menandakan bahwa pada masa itu pernah
terjadi transgresi laut, meskipun mungkin kejadiannya sangat singkat.
Moluska laut yang lain ditemukan
berasosiasi dengan kayu, belerang, peat, bulus dan buaya yang menunjukkan
lingkungan payau-payau tepi laut. Selain horizon moluska laut, ditemukan juga
lapisan tanah Diatome yang berwarna putih kecoklatan, dengan penyebaran
yang cukup lama.
3. Formasi
Kabuh
Formasi ini terletak di dukuh
Ngampon, desa Krikilan, Kecamatan Klaijambe dan Kabupaten Sragen. Umur
formasi ini adalah Plestosen atas sampai plestosen tengah
(900ribu-200ribu tahun yang lalu).
Formasi kabuh mempunyai ketebalan 5,8 – 58,6 M.
lapisan ini mempunyai kandungan litologi berupa lempung lanau , pasir, besi dan
kerikil. Satuan litologi tersebut ditemukan berselang- seling dengan lapisan
konglomerat dan batu lempung vulkanik (tuf).Dibawah lapisan ini ditemukan
lapisan batu pasir, konglomerat “calcareous” dengan ketebalan lebih dari 2M
yang merupakan ciri lingkungan transisi antara lautan dan daratan.
Lapisan tuf yang terkandung dalam
formasi kabuh dibedakan atas lapisan tuf bawah, tuf tengah, dan tuf atas.
Lapisan tuf bawah terletak pada formasi kabuh dengan ketebalan 4,2 – 20 M,
lapisan tuf tengah terdapat pada formasi kabuh dengan ketebalan 5,8 – 20M, dan
lapisan tuf atas pada formasi kabuh atas dengan ketebalan 3,4-16M.
Kandungan fosil formasi kabuh
meliputi hewan vertebrata dan moluska air payau. Fosil vertebrata yang
ditemukan antara lain : bovidae, babi, buaya, bulus, banteng, gajah dan rusa.
Sedang fosil moluska air payau yang ditemukan meliputi astartea, melania, dan
corbicula.Selain itu ditemukan pula fosil cetakan daun.
4. Formasi
Notopuro ( mad volcano)
Formasi notopuro terletak secara
tidak selaras diatas formasi kabuh dengan ketebalan sekitar 47 M. satuan
litologinya berupa : kerikil, pasir, lanau, lempung, air tawar, lahar pumisan
dan tuf. Lapisan lahaar yang terkandung dalam lapisan ini, berdasarkan letaknya
dibagi 3 yaitu : lapisan lahar atas, lapisan lahar teratas dan lapisan
pumiceatas. Berdasarkan adanya lapisan lahar tersebut, formasi notopuro
dibedakan menjadi 3 : formasi notopro bawah, formasi notopuro tengah dan
formasi notopuro atas.
Lapisan notopuro bawah dimulai
lapisan lahar atas sampai lapisan lahar teratas, dengan ketebalan antara 3,2-
2,89 M. Kandungan litologinya berupa pasir tufan dengan kerikil fluvial, lanau,
lempung, fragmen kerikil andesit dan formasi tuf andesit.
Formasi notopuro tengah mulai muncul
pada lapisan lahar atas sampai lapisan lahar teratas, dengan ketebalan maksimum
20M.formasi ini mengandung pasir bercampur kerikil dan lanau tufan,
kecuali pada lapisan lahar yang terletak didasar. Pada formasi ini tidak
ditemukan fosil mammalian sama sekali.
Formasi notopuro atas dimulai dari lapisan pumiceatas
secara tidak selaras terletak diatas formasi notopuro tengah dan bawah,
ketebalan formasi ini mencapai 25 M dan tersebar di daerah sangiran sebelah
utara dan daerah sangiran sebelah timur. Kandungan litologinya berupa tuf dan
bola-bola pumisan.
e)
Pembagian Ruang di Museum Sangiran
1. Ruang Pamer
1 bertemakekayaan Sangiran dan berbagai fosil yang ditemukan di
daerah Sangiran oleh Prof. Dr. Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald
dan sejumlah peneliti lainnya. Di Ruang ini banyak fosil yang berhasil
ditemukan, antara lain fosil binatang darat (gajah, harimau, dll), binatang air
(kudanil, buaya, dll), bebatuan dan berbagai peralatan yang terbuat dari batu
yang dulu pernah dibuat dan digunakan manusia purba yang tinggal di Sangiran.
Di Ruang
Pamer 1, juga terdapat buku kegiatan digital yang berisi tentang Evolusi
Manusia Purba. Buku ini berisi tentang Teori Darwin, Teori Migrasi dan
tokoh lainnya lengkap dengan penjelasan mengenai temuan.
2. Ruang Pamer
2, bertema Langkah-Langkah
Kemanusiaan dan berisi diorama manusia purba serta profil para peneliti
Indonesia setelah merdeka. Langkah-langkah kemanusiaan dijelaskan pada teori
evolusi.Mulai dari Seleksi Alam, Adaptasi danVariasi. Seleksi Alammenjelaskan
tentang keturunan suatu makhluk tampaknya sama dengan induk atau saudaranya,
kemudian makhluk yang mampu menyesuaikan diri (adaptasi) akan
bertahan hidup dan hingga bisa menciptakan suatu variasi.Setiap makhluk
yang dilahirkan itu mempunyai unsur keturunan masing-masing, unik. Di Ruang
Pamer 2, di sini terdapat beberapa diorama lain dari yang lain. Terdapat
diorama G.H.R. von Koenigswald .Seorang geolog dan salah satu penemu
tengkorak “Sangiran II” yang kemudian disebut sebagai Pithecanthropus
erectus. Koenigswald terlihat gagah, tapi bajunya sepertinya terlalu
kecil.Selain diorama para penetili, terdapat patung manusia purba.Patung
Manusia purba disajikan seakan-akan menggambarkan kegiatan mereka ketika masa
itu.Disana tampak menggambarkan menyalakan api dengan sebuah alat. Menurut
keterangan dari pemandu, meski ada patung yang menggambarkan sedang menyalakan
api, namun sampai sekarang belum ditemukan fosil alat yang digunakan untuk
menyalakan api. Entah itu menggunakan batu atau sejenisnya, tapi sampai
sekarang belum ditemukan.Masih banyak patung yang menggambarkan kegiatan mereka
pada jaman dahulu, misalnya; berburu, masak dan makan bersama.
3. Ruang Pamer
3, bertema
tentang Homo Erectus dan berisi replika kehidupan species Homo
erectus. Pada tahun 2004, ditemukan sisa-sisa prasejarah dari goa Leang
Boa di Flores yang kemudian terkenal dengan namaHomo Floresiensis. Temuan ini menggemparkan dunia, karena dia
merupakan individu dewasa tetapi berpostur pendek, dengan tinggi bandan
kira-kira 106 cm. Hidup pada 18.000-13.000 tahun yang lalu. Berdasarkan
penelitian perkakas yang ditemukan, Homo
Floresiensis tergolong manusia yang cerdas, mampu menggunakan alat kayu dan
bambu sebagai alat utama untuk mengadakan pemburuan.
f)
Koleksi
Museum Sangiran
1. Fosil
manusia, antara lain Australopithecus africanus , Pithecanthropus
mojokertensis (Pithecantropus robustus ), Meganthropus
palaeojavanicus , Pithecanthropus erectus, Homo soloensis , Homo
neanderthal Eropa, Homo neanderthal Asia, dan Homo sapiens .
2. Fosil
binatang bertulang belakang, antara lain Elephas namadicus (gajah), Stegodon
trigonocephalus (gajah), Mastodon sp (gajah), Bubalus
palaeokarabau (kerbau), Felis palaeojavanica (harimau), Sus sp (babi),
Rhinocerus sondaicus (badak), Bovidae (sapi, banteng), dan Cervus
sp (rusa dan domba).
3. Fosil
binatang air, antara lain Crocodillus sp (buaya), ikan dan kepiting,
gigi ikan hiu, Hippopotamus sp (kuda nil), Mollusca (kelas Pelecypoda
dan Gastropoda ), Chelonia sp (kura-kura), dan foraminifera
.
4. Batu-batuan
, antara lain Meteorit/Taktit, Kalesdon, Diatome, Agate, Ametis
5. Alat-alat
batu, antara lain serpih dan bilah, serut dan gurdi, kapak persegi, bola batu
dan kapak perimbas-penetak
6. Koleksi
lainnya
a)
Fosil kayu
yang terdiri dari:
1. Fosil kayu Temuan
dari Dukuh Jambu, Desa Dayu, Kecamatan Gondangrejo Kabupaten Karanganyar.
Ditemukan pada tahun 1995 pada lapisan tanah lempung warna abu-abu ditemukan
pada formasi pucangan
2. Fosil batang
pohon
Temuan dari
Desa krikilan , Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen. Fosil ini ditemukan pada
tahun 1977 pada lapisan tanah lempung Warna abu-abu dari endapan ditemukan pada
Formasi pucangan
b)
Tulang hasta
(Ulna) Stegodon Trigonocephalus
Ditemukan di kawasan cagar sangiran
pada tanggal 23 november 1975 di tanah lapisan lempung warna abu –abu Formasi
kabuh bawah.
c)
Tulang paha
Ditemukan dari Desa Ngebung,
Kecamatan kalijambe, Kabupaten Sragen pada tanggal 4 Februari 1989 pada lapisan
tanah lempung warna abu – abu dari endapan ditemukan pada formasi pucangan
atas.
d)
Tengkorak
kerbau
Ditemukan oleh Tardi Pada tanggal 20
November 1992 di Dukuh Tanjung, Desa Dayu Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten
Karanganyar pada lapisan tanah Warna coklat kekuning-kunginan yang bercampur
pasir ditemukan formasi kabuh berdasarkan penanggalan geologi berumur
700.000-500 tahun
e)
Gigi Elephas
Namadicus
Ditemukan di situs cagar budaya
sangiran Pada tanggal 12 Desember 1975, Pada lapisan tanah pasir bercampur
kerikil berwarna cokelat ditemukan pada Formasi kabuh
f)
Fragmen
gajah purba
Hidup di daerah cagar budaya sangiran. Jenisnya
adalah:
ü Mastodon
ü Stegodon
ü Elephas
g)
Tulang rusuk
(Casta) Stegodon Trigonocephalus
Ditemukan oleh Supardi pada tanggal
3 Desember 1991 di Dukuh Bukuran, Desa Bukuran Kecamatan kalijambe Kabupaten
Sragen pada lapisan lempung warna abu – abu dari endapan pucangan atas.
h)
Ruas tulang
belakang (Vertebrae)
Ditemukan di situs cagar budaya
sangiran pada tanggal 15 Desember 1975 di lapisan tanah pasir berwarna abu –
abu pada formasi kabuh bawah.
i)
Tulang jari
(Phalanx)
Ditemukan di situs sangiran pada
tanggal 28 oktober 1975 pada lapisan tanah pasir kasar warna cokelat
kekuning-kuningan pada formasi kabuh.
j)
Rahang atas
Elephas Namadicus
Rahang ini dilengkapi sebagian
gading ditemukan oleh Atmo di Dukuh Ngrejo, Desa Samomorubuh Kecamatan Plupuh
Kabupaten Sragen pada tanggal 24 April 1980 pada lapisan Grenz bank antara
formasi pucangan dan kabuh.
k)
Tulang kaki
depan bagian atas (Humerus)
Bagian fosil ditemukan oleh Warsito
Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen pada tanggal 28 Desember
1998 pada lapisan tanah lempung warna abu – abu dari formasi pucangan atas kala
pleistosen bawah
l)
Tulang
kering
Ditemukan oleh Warsito di Dukuh
Bubak Desa Ngebung, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen pada tanggal 4
januari 1993 lapisan tanah lempung warna abu – abu dari formasi pucangan atas.
m)
Fosil
Molusca
a. Klas
Pelecypoda
b. Klas
Gastropoda
n)
Binatang air
ü Tengkorak buaya (Crocodilus Sp.)
ditemukan pada tanggal 17 Desember 1994 oleh Sunardi di Dukuh Blimbing, Desa
Ngebung, Kecamatan kalijambe kabupaten Sragen pada formasi pucangan
ü Kura – kura (Chlonia Sp.) ditemukan
pada tanggal 1 Februari 1990 oleh hari Purnomo Dukuh Pablengan, Desa krikilan ,
Kecamatan Kalijambe, kabupaten Sragen pada Formasi pucangan
ü Ruas tulang belakang ikan ditemukan
pada tanggal 20 November 1975 oleh Suwarno di Desa Bukuran, Kecamatan
Kalijambe, Kabupaten Sragen pada formasi pucangan
B. Obyek Wisata Tawangmangu
Tawangmangu adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.Kecamatan
ini ternama karena merupakan daerah wisata yang sangat sejuk.
Tawangmangu dikenal sebagai obyek wisata pegunungan di lereng barat Gunung Lawu yang bisa ditempuh dengan kendaraan
darat selama sekitar satu jam dari Kota Surakarta (Solo). Tempat ini sejak masa
kolonial Belanda telah
menjadi tempat berwisata.Obyek tujuan wisata utama adalah air terjunGrojogan Sewu (tinggi 81 m).Di tempat tetirah ini
tersedia berbagai sarana pendukung wisata seperti kolam renang dan berbagai bentuk penginapan.Dari
Tawangmangu dapat dimulai pendakian ke puncak Gunung Lawu (Pos
Cemorokandang).Selain itu, dari sini terdapat jalan tembus yang menuju ke Telaga Sarangan di Magetan lewat Cemorosewu.
Tawangmangu berada pada areal
pegunungan yang subur dikelilingi oleh hutan dan perbukitan. Namun demikian
kota kecil ini telah terkenal hingga ke manca negara karena kawasan ini
merupakan obyek pariwisata yang cocok untuk dijadikan pilihan saat berlibur
maupun berdarma wisata.
Selain udaranya yang sejuk,
keindahan alam di sekitarnya tidak kalah menarik dengan kawasan lain di
indonesia, terlebih lagi didaerah ini terkenal dengan produksi pertanian
penghasil sayur mayur selain dari keberadaan obyek wisata Air Terjun Grojokan
Sewu. Tawangmangu sendiri telah menjadi pilihan bagi orang-orang perkotaan
untuk membangun villa-villa, maupun berinvestasi dengan mendirikan hotel-hotel
& penginapan.
Grojogan Sewu adalah salah satu air terjun yang berada
di Jawa Tengah. Terletak di Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa
Tengah. Air terjun Grojogan Sewu terletak di lereng Gunung Lawu. Grojogan Sewu
terletak sekitar 27 km di sebelah timur Kota Karanganyar. Air terjun Grojogan
Sewu merupakan bagian dari Hutan Wisata Grojogan Sewu.
Disebut Grojogan Sewu bukan karena terdapat Grojogan
yang berjumlah 1000 (sewu) melainkan karena adanya percikan air yang sangat
banyak dari air terjun.